Shalat
berjamaah di masjid merupakan perkara yang lazim. Namun sesungguhnya
Islam telah mengatur hal-hal khusus bagi wanita. Dan bagaimana Islam
menyikapi kondisi saat ini di mana para wanita datang ke masjid dengan
bersolek dan membuka auratnya? Simak bahasan berikut.
Sejak
zaman nubuwwah, kehadiran wanita untuk shalat berjamaah di masjid
bukanlah sesuatu yang asing. Hal ini kita ketahui dari hadits-hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha. Kata beliau:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengakhirkan shalat ‘Isya hingga ‘Umar berseru memanggil beliau seraya
berkata: ‘Telah tertidur para wanita dan anak-anak [1]. Maka keluarlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berkata kepada orang-orang yang hadir di masjid:
“Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini selain kalian.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 566 dan Muslim no. 638)
“Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini selain kalian.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 566 dan Muslim no. 638)
Aisyah radhiyallahu ‘anha juga berkata:
“Mereka wanita-wanita mukminah menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seselesainya dari shalat tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka karena masih gelap.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 645)
“Mereka wanita-wanita mukminah menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seselesainya dari shalat tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka karena masih gelap.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 645)
Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anha menceritakan: “Di masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, para wanita yang ikut hadir dalam shalat berjamaah,
selesai salam segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah
mereka. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jamaah
laki-laki tetap diam di tempat mereka sekedar waktu yang diinginkan
Allah. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit, bangkit
pula kaum laki-laki tersebut.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 866, 870)
Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Aku berdiri untuk menunaikan shalat dan tadinya aku berniat untuk memanjangkannya. Namun kemudian aku mendengar tangisan bayi, maka aku pun memendekkan shalatku karena aku tidak suka memberatkan ibunya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 868)
“Aku berdiri untuk menunaikan shalat dan tadinya aku berniat untuk memanjangkannya. Namun kemudian aku mendengar tangisan bayi, maka aku pun memendekkan shalatku karena aku tidak suka memberatkan ibunya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 868)
Beberapa
hadits di atas cukuplah menunjukkan bagaimana keikutsertaan wanita dalam
shalat berjamaah di masjid. Lalu sekarang timbul pertanyaan, apa hukum
shalat berjamaah bagi wanita?
Dalam hal
ini wanita tidaklah sama dengan laki-laki. Dikarenakan ulama telah
sepakat bahwa shalat jamaah tidaklah wajib bagi wanita dan tidak ada
perselisihan pendapat di kalangan mereka dalam permasalahan ini.
Ibnu Hazm
rahimahullah berkata (Al-Muhalla, 3/125): “Tidak diwajibkan bagi kaum
wanita untuk menghadiri shalat maktubah (shalat fardhu) secara
berjamaah. Hal ini merupakan perkara yang tidak diperselisihkan (di
kalangan ulama).” Beliau juga berkata: “Adapun kaum wanita, hadirnya
mereka dalam shalat berjamaah tidak wajib, hal ini tidaklah
diperselisihkan. Dan didapatkan atsar yang shahih bahwa para istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di kamar-kamar mereka dan tidak
keluar ke masjid.” (Al-Muhalla, 4/196)
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah menyatakan: “Telah berkata teman-teman kami bahwa
hukum shalat berjamaah bagi wanita tidaklah fardhu ‘ain tidak pula
fardhu kifayah, akan tetapi hanya mustahab (sunnah) saja bagi mereka.”
(Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/188)
Ibnu
Qudamah rahimahullah juga mengisyaratkan tidak wajibnya shalat jamaah
bagi wanita dan beliau menekankan bahwa shalatnya wanita di rumahnya
lebih baik dan lebih utama. (Al-Mughni, 2/18)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah bersabda kepada para wanita:
“Shalatnya salah seorang di makhda’-nya (kamar khusus yang digunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Dan shalatnya di kamar lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid kaumnya. Dan shalatnya di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 155)
“Shalatnya salah seorang di makhda’-nya (kamar khusus yang digunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Dan shalatnya di kamar lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid kaumnya. Dan shalatnya di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 155)
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
“Jangan kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari shalat di masjid-masjid-Nya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 990 dan Muslim no. 442)
“Jangan kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari shalat di masjid-masjid-Nya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 990 dan Muslim no. 442)
Dalam riwayat Abu Dawud (no. 480) ada tambahan:
“meskipun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 576 dan dalam Al-Misykat no. 1062)
“meskipun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 576 dan dalam Al-Misykat no. 1062)
Dalm
Nailul Authar, Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata setelah
membawakan hadits di atas: “Yakni shalat mereka di rumah-rumah mereka
lebih baik bagi mereka daripada shalat mereka di masjid-masjid,
seandainya mereka mengetahui yang demikian itu. Akan tetapi mereka tidak
mengetahuinya sehingga meminta ijin untuk keluar berjamaah di masjid,
dengan keyakinan pahala yang akan mereka peroleh dengan shalat di masjid
lebih besar. Shalat mereka di rumah lebih utama karena aman dari
fitnah, yang menekankan alasan ini adalah ucapan ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha ketika melihat para wanita keluar ke masjid dengan tabarruj dan
bersolek.”[2] (Nailul Authar, 3/168)
Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah setelah menyebutkan hadits: “meskipun
rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, menyatakan dalam salah satu
fatwanya: “Hadits ini memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya
lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata: ‘Aku ingin shalat di
masjid agar dapat berjamaah.’ Maka akan aku katakan: ‘Sesungguhnya
shalatmu di rumahmu lebih utama dan lebih baik.’ Hal ini dikarenakan
seorang wanita akan terjauh dari ikhtilath (bercampur baur tanpa batas)
bersama lelaki lain sehingga akan menjauhkannya dari fitnah.” (Majmu’ah
Durus Fatawa, 2/274)
Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda demikian sementara beliau berada di Madinah dan kita
tahu shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan dan nilai lebih. Akan
tetapi karena shalat wanita di rumahnya lebih tertutup baginya dan lebih
jauh dari fitnah maka hal itu lebih utama dan lebih baik.” (Al-Fatawa
Al-Makkiyyah, hal. 26-27, sebagaimana dinukil dalam Al-Qaulul Mubin fi
Ma’rifati maa Yuhammul Mushallin, hal. 570)
Dari
keterangan di atas, jelaslah bagi kita akan keutamaan shalat wanita di
rumahnya. Setelah ini mungkin timbul pertanyaan di benak kita: Apakah
shalat berjamaah yang dilakukan wanita di rumahnya masuk dalam sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Shalat berjamaah dibandingkan shalat sendiri lebih utama dua puluh lima (dalam riwayat lain: dua puluh tujuh derajat)”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 645, 646 dan Muslim no. 649, 650)
“Shalat berjamaah dibandingkan shalat sendiri lebih utama dua puluh lima (dalam riwayat lain: dua puluh tujuh derajat)”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 645, 646 dan Muslim no. 649, 650)
Dalam hal
ini Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah menegaskan bahwa keutamaan 25
atau 27 derajat yang disebutkan dalam hadits khusus bagi shalat
berjamaah di masjid dikarenakan beberapa perkara yang tidak mungkin
didapatkan kecuali dengan datang berjamaah di masjid. (Fathul Bari,
2/165-167)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah meriwayatkan akan hal ini dalam sabdanya:
“Shalat seseorang dengan berjamaah dilipat gandakan sebanyak 25 kali lipat bila dibandingkan shalatnya di rumahnya atau di pasar. Hal itu dia peroleh dengan berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia keluar menuju masjid dan tidak ada yang mengeluarkan dia kecuali semata untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkah dengan satu langkah melainkan diangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu kesalahan. Tatkala ia shalat, para malaikat terus menerus mendoakannya selama ia masih berada di tempat shalatnya dengan doa: “Ya Allah, berilah shalawat atasnya. Ya Allah, rahmatilah dia.” Terus menerus salah seorang dari kalian teranggap dalam keadaan shalat selama ia menanti shalat.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 647 dan Muslim no. 649)
“Shalat seseorang dengan berjamaah dilipat gandakan sebanyak 25 kali lipat bila dibandingkan shalatnya di rumahnya atau di pasar. Hal itu dia peroleh dengan berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia keluar menuju masjid dan tidak ada yang mengeluarkan dia kecuali semata untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkah dengan satu langkah melainkan diangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu kesalahan. Tatkala ia shalat, para malaikat terus menerus mendoakannya selama ia masih berada di tempat shalatnya dengan doa: “Ya Allah, berilah shalawat atasnya. Ya Allah, rahmatilah dia.” Terus menerus salah seorang dari kalian teranggap dalam keadaan shalat selama ia menanti shalat.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 647 dan Muslim no. 649)
Dengan
demikian, shalat jamaah wanita di rumahnya tidak termasuk dalam
keutamaan 25 atau 27 derajat, akan tetapi mereka yang melakukannya
mendapatkan keutamaan tersendiri, yaitu shalat mereka di rumahnya,
secara sendiri ataupun berjamaah, lebih utama daripada shalatnya di
masjid, wallahu a’lam.
_____________________________
Footnote:
*) Yakni mereka yang ikut hadir untuk shalat berjamaah di masjid. (Syarah Shahih Muslim, 5/137, Fathul Bari, 2/59)
**) Yang dimaksud Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah adalah atsar yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari (no. 869) dan Al-Imam Muslim (no. 445) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat apa yang diperbuat oleh para wanita itu, niscaya beliau akan melarang mereka mendatangi masjid sebagaimana dilarangnya para wanita Bani Israil.” Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Yang diperbuat oleh wanita tersebut adalah (keluar ke masjid dengan) mengenakan perhiasan, wangi-wangian, dan pakaian yang bagus.” (Syarah Shahih Muslim, 4/164)
*) Yakni mereka yang ikut hadir untuk shalat berjamaah di masjid. (Syarah Shahih Muslim, 5/137, Fathul Bari, 2/59)
**) Yang dimaksud Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah adalah atsar yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari (no. 869) dan Al-Imam Muslim (no. 445) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat apa yang diperbuat oleh para wanita itu, niscaya beliau akan melarang mereka mendatangi masjid sebagaimana dilarangnya para wanita Bani Israil.” Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Yang diperbuat oleh wanita tersebut adalah (keluar ke masjid dengan) mengenakan perhiasan, wangi-wangian, dan pakaian yang bagus.” (Syarah Shahih Muslim, 4/164)
0 komentar:
Posting Komentar